Minggu, 30 November 2014

Jiang Shi Mengusir Istri 02



Cerita Budi Pekerti

Jiang Shi Mengusir Istri

Bagian 2

Pang Shi meminjam mesin tenun Ibu Tua, siang malam menenun kain dan dijual ke pasar untuk memperoleh sedikit uang. Lalu membeli makanan yang lezat dan meminta Ibu Tua untuk membawa makanan tersebut pulang ke rumah buat mertuanya, juga berpesan agar Ibu Tua menyampaikan bahwa makanan lezat itu adalah pemberian Ibu Tua.

Ibu Tua setiap hari mengantarkan makanan lezat buat mertua Pang Shi, lama kelamaan sang mertua merasa curiga, lalu bertanya terus menerus tanpa henti, akhirnya Ibu Tua terpaksa menceritakan kebenarannya. Setelah mengetahui kejelasannya, mertua Pang Shi mulai menyesali perbuatannya, lalu meminta putranya untuk menjemput menantunya pulang rumah.

Hari itu mentari bersinar cerah, angin dan mentari tampak cantik. Pang Shi berdandan serapi mungkin, Jiang Shi akan menjemputnya pulang rumah, senyuman mertua telah menantinya, anaknya melompat kegembiraan, semuanya berbahagia. Para tetangga dan penduduk dusun menyaksikan hal ini, semuanya menyatakan kekagumannya.

Sejak itu, Jiang Shi dan istrinya lebih berbakti pada ibunda, keluarga kembali pada masa lalu yang harmonis dan bahagia. Oleh karena pekerjaan rumah yang sibuk, kadang kala anak mereka juga menggantikan Pang Shi pergi mengambil air di sungai. Nasib manusia tiada yang bisa meramalnya, suatu kali ketika anak itu sedang mengambil air di sungai, tiba-tiba banjir datang, tubuhnya hanyut dan tenggelam.

Jiang Shi dan istrinya amat bersedih, hati mereka bagaikan tersayat pisau. Lalu dalam menghadapi mertuanya yang sudah tua renta, wajah mereka tidak mungkin tidak memperlihatkan keceriaan, tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya telah terjadi, takut sang nenek tidak mampu menerima pukulan ini.  Setiap kali dia menanyakan cucunya, mereka akan berbohong bahwa buah hati mereka sedang sekolah di luar, untuk sementara tidak bisa pulang ke rumah.

Hari demi hari berlalu, Ibunda Jiang mengkhawatirkan sisa hidupnya tidak berapa lama lagi, selalu ingin makan ikan, meskipun keadaan keluarga miskin, namun Jiang Shi dan istrinya setiap hari membanting tulang agar memperoleh penghasilan yang cukup membeli ikan buat ibunda. Lalu Ibunda Jiang merindukan tetangganya Ibu Tua, suami istri selalu mengundang Ibu tua untuk menemani sang bunda makan ikan, supaya ibunda merasa senang.

Suatu hari angin bertiup kencang, petir mengelegar dan kilat menyambar, hujan turun semalaman. Esok harinya ketika Pang Shi melewati halaman rumah, tiba-tiba dia melihat ada sebuah lubang yang besarnya seperti ember, air tersembur keluar dari sumber mata air. Di samping sumber mata air terdapat dua ekor ikan yang masih hidup dan lincah. Pang Shi mencoba mencicipi air tersebut, rasanya tidak berbeda dengan air yang dia ambil di sungai yang jauhnya enam atau tujuh li dari rumahnya. Mungkin Langit tersentuh oleh hati bakti mereka, sejak itu setiap pagi sumber air itu akan menyemburkan air dan memunculkan dua ekor ikan, untuk dipersembahkan kepada Jiang Shi dan istrinya, untuk berbakti pada ibunda. Tidak lama kemudian mata ibunda juga sembuh seperti sedia kala.

Pada saat itu terjadi gejolak di dalam masyarakat, para petani juga ikut memberontak. Prajurit Alis Merah melewati Dusun Xun, pemimpin kelompok bandit itu mendengar kisah tentang bakti Jiang Shi dan istrinya, berulang-ulang berpesan pada bawahannya : “Semuanya jangan bertindak sembarangan, jangan sampai membuat putra berbakti jadi ketakutan, jangan sampai membuat Langit menjadi murka, maka ini sungguh merupakan ketidakberuntungan!”  

Maka itu, mereka juga menitipkan bungkusan yang berisi beras, mie dan persediaan makanan lainnya ditaruh secara diam-diam di depan rumah Jiang Shi. Jiang Shi dan istrinya menganggap itu adalah harta yang tidak halal maka menguburnya ke dalam tanah. Pada era kekacauan dimana pembunuhan dan pembakaran terjadi dimana-mana, Dusun Xun yang dihuni oleh Jiang Shi malah tidak mengalami dampak akibat peperangan dan kekacauan.

Saat itu masyarakat menggalakkan agar pemerintah memilih pejabat dari putra berbakti, lalu Jiang Shi direkomendasi menjadi kandidat pejabat. Sikap bakti Jiang Shi dan istrinya kemudian tersebar hingga ke istana, kaisar juga ikut terharu, lalu mengeluarkan titah mengangkat Jiang Shi jadi pejabat. Tidak lama kemudian Pang Shi melahirkan seorang putra, seluruh anggota keluarga hidup dalam suasana bahagia. Kemudian Jiang Shi ditugaskan ke Jiangyang menjadi bupati, daerah tersebut berhasil ditatanya sedemikian rupa sehingga rakyat menikmati kesejahteraan.

Setelah Jiang Shi meninggal dunia, Kaisar Han Ming-di segera menitahkan untuk membangun “Kuil Jiang Gong” untuk menyebarluaskan ajaran bakti, memperoleh penghormatan dan pemujaan dari penduduk setempat generasi demi generasi. Hingga pada masa pemerintahan Kaisar Ning-zong dari Dinasti Song (1168-1224) memberikan gelar padanya, sikap bakti mereka telah memberi teladan bagi semua orang dan negara.

Hari ini di kota kuno kecil Xiaoquan (sumber mata air bakti), Sichuan, masih berdiri kokoh Kuil Tri Bakti, meskipun diterpa berbagai cobaan, di dalamnya tersimpan banyak jejak rekam sejarah, sikap bakti Jiang Shi dan Pang Shi telah menggugah anak cucu Bangsa Tionghoa generasi demi generasi turun temurun.  

Jiang Shi yang mengerahkan segenap usaha untuk berbakti pada ibunda, dia amat penurut pada ibundanya, seperti apa yang dikatakan bahwa “segala yang disukai ibunda, berusaha untuk memenuhinya; segala apa yang tidak disukai ibunda, segera disingkirkan”.  Marilah kita benar-benar memahami kebenaran sejati  “Berbakti merupakan kebajikan yang terutama dari segala kebajikan”, dan sikap bakti dari Jiang Shi dan Pang Shi adalah sulit ditemukan dan sungguh bernilai! Berbakti pada mertua sendiri tanpa keluhan, ketika suami sendiri mengusirnya dari rumah, saat rasa malu memenuhi dirinya, masih dapat memikirkan mertuanya, memikirkan keluarga sendiri, masih tetap menggunakan jerih payah sendiri untuk menenun kain dan memberi apa yang terbaik buat mertuanya, dengan menggunakan kasih sayang yang tulus berhasil menggugah mertuanya, mempertahankan keharmonisan dan kebahagiaan keluarga, dengan bakti yang tulus, bagaimana mungkin takkan mengharukan Langit dan Bumi!






姜詩出婦


(二)

龐氏借用大媽的織布機日夜紡紗織布,將布疋賣去賺得了一些錢財。然後去街市買回好吃的,讓鄰居大媽送回家中給婆婆食用,並且叮囑鄰居大媽說是大媽自己的。鄰居大媽每天都給姜母送去好吃的,日子一久,姜母便感奇怪,追問究竟,大媽終於道出了實情。得知真相後,姜母心中頗感慚愧, 懊悔之心油然而生,便囑託兒子將媳婦接回家。

這一天,陽光明媚,風和日麗。龐氏打扮得整整齊齊,姜詩將其迎歸家中,婆婆喜笑顏開,孩子更是蹦蹦跳跳,煞是歡喜。鄰里鄉親看在眼裡,真是羡慕萬分。打這以後,姜詩夫婦孝順母親更加盡心,又恢復了往日的幸福安樂。因為家事繁忙,有時孩子便也替母親去江中取水。哪知「天有不測風雲,人有旦夕禍福」,兒子在一次取水的時候,江裡突發大水,溺水身亡。姜詩夫婦,心如刀割,悲痛萬分。然而面對白髮老母,卻又不得不強顏歡笑,不敢提起此事,生怕老母承受不起。姜母問起孫兒,便說外出求學,暫時不能回家,龐氏外出取水如故。

日子一天天過去,姜母懮心歲月不多,常常思念吃魚,雖然家中貧寒,但姜詩夫婦更加地辛勤勞作,將所有積蓄用來買魚孝敬姜母。姜母惦念鄰居大媽,於是夫婦二人常請大媽一起過來吃魚,好讓母親開心。

一天夜裡,狂風大作,雷電交加,下了一夜的雨。第二天,龐氏起來經過院子,突然驚奇地發現地上有一個桶大的窟窿,正汩汩地往外湧著泉水,順著牆角流出了院外。在泉眼旁邊,有兩條活蹦亂跳的鯉魚。龐氏喜出望外,又嘗了嘗泉水,跟六七里外的江水一個味。也許是他們的孝心感動了天地,從此,每天早上都會從泉眼裡躍出兩條肥大的鯉魚,供給姜詩夫婦做成佳餚來孝養母親。不久,姜母的眼疾也康復如初了。
                      
當時,社會發生動亂,農民起義也頻頻發生。赤眉軍路過汛鄉,帶隊的頭領聽聞了姜詩夫婦的孝行,不禁敬畏地說道:「大家別亂來,驚動了大孝之人,必然觸怒老天爺,那就不吉利了!」於是,還將隨身攜帶的米麵糧食,悄悄放在姜詩家門口。姜詩夫婦認為這是不義之財,就將其掩埋了。這樣,在社會動亂,到處燒殺搶掠的年代裡,姜詩居住的汛鄉居然沒有受到戰亂的騷擾。

當時,社會推行「舉孝廉」的選官制度,姜詩就被推舉做了孝廉。姜詩夫婦的孝行又傳到了皇帝那裡,皇帝也深深為之感動,便頒佈詔書,封姜詩做了郎中,龐氏不久後又為姜家生了個兒子,一家老少和樂地生活在一起。後來,姜詩調到江陽做縣令,將這個地方治理得井井有條,人民安居樂業。

姜詩死了之後,漢明帝下詔為其立祀,彰揚這一門三孝,修建了「姜公祠」,世世代代受到當地老百姓的敬仰和祭祀。到宋代崇寧宗時,被賜為「東雙至孝廣文王」,他們的孝行教育人們要有孝敬父母,忠於家園的美好品德。

在今天的四川孝泉古鎮,依然屹立著「三孝祠」,幾經興廢,保存著許多歷史古跡,姜詩夫婦的孝行感召了一代又一代華夏子孫。姜詩盡心孝養母親,首順其心,真所謂「親所好,力為俱;親所惡,謹為去。」讓我們真正懂得「百善孝為先」的真義。而姜詩妻龐氏的孝更難能可貴!孝順自己的婆婆無怨無悔,在丈夫將自己趕出家門,滿心委屈的時候,還能念著婆婆,想著自己的家庭,依然用辛勤紡織來盡心奉養婆婆,以自己至誠的真愛感動了婆婆,維繫了家庭的和樂與幸福,這至情孝心,天地神明怎麼會不被感動呢!


Jiang Shi Mengusir Istri 01



Cerita Budi Pekerti

Jiang Shi Mengusir Istri

Bagian 1

Pada masa Dinasti Han Timur (25-220M), di Kabupaten Guanghan, Dusun Xun, yakni sekarang adalah kota kuno kecil Xiaoquan yang ada di Deyang, Sichuan, di sana tinggal sebuah keluarga, kepala keluarganya bernama Jiang Shi. Ketika dia masih berusia kecil, ayahnya telah meninggal dunia, bersama ibundanya mereka hidup dengan saling mengandalkan.  

Dalam keseharian, Jiang Shi sangat berbakti, mengerahkan segenap kemampuan untuk menjaga ibunda, tidak pernah membiarkan ibunda khawatir dan kesal, para tetangga juga memperhatikan tingkah lakunya, mengacungkan jempol buat dirinya, selalu memujinya. Maka itu, kisah bakti Jiang Shi pada ibundanya tersebar di seluruh pelosok dusun.

Di Kabupaten Luo ada seorang cendekiawan tersohor yang bernama Pang Sheng, memiliki seorang putri yang pintar dan bijak, sejak kecil sudah diajari puisi dan sejarah, trampil menenun kain, terhadap ayahbunda juga sangat berbakti.  

Sekejab mata berlalu, dia telah sampai pada usia menikah, pria yang ingin meminangnya berbondong-bondong datang tiada hentinya, namun satu persatu ditolaknya mentah-mentah. Tidak lain hanya karena sang putri meninggalkan sepenggal kalimat : “Ayah, di dalam Klasik Bakti tertera bahwa orang yang tidak tahu mencintai ayahbundanya sendiri dan malah mencintai orang lain, ini disebut  bertentangan dengan moralitas. Ayah seharusnya mencarikan seorang pria yang berbakti sebagai suamiku!”

Suatu hari Pang Sheng mendengar tentang Jiang Shi yang amat berbakti, maka itu dia mengutus orang yang menyelidiki prilaku Jiang Shi, ternyata benar Jiang Shi adalah anak yang sangat berbakti, bahkan prilakunya juga benar dan lurus. Akhirnya dia bisa bernafas lega, melepaskan batu yang mengganjal di hatinya.

Setelah melalui berbagai rintangan akhirnya Jiang Shi dan Pang Shi menikah menjadi sepasang suami istri. Mereka saling mencintai satu sama lainnya, melewati kehidupan dimana pria bertani dan wanita menenun. Setelah setahun berlalu, lahirlah seorang bayi laki-laki, meskipun kehidupan agak susah, namun mereka melaluinya dengan penuh semangat. Mereka amat berbakti pada ibunda, terutama Pang Shi sebagai menantu, mengerahkan segenap usaha untuk menjaga mertua perempuannya itu, mencuci kakinya, memijat pundaknya, sementara dirinya sendiri juga gembira melakukannya.

Dalam sekejab mata beberapa tahun telah berlalu, perlahan anaknya juga mulai tumbuh besar, ibunda Jiang juga semakin menua dan melemah, tak terduga beliau diserang penyakit mata. Oleh karena tidak leluasa dalam menjalani kehidupannya, ibunda Jiang jadi kesal dan suka marah-marah, terhadap menantunya dia mulai mengeluh dan merasa tidak senang, ditambah lagi dengan tetangga yang selalu merasa sirik, menggunakan kesempatan ketika putra dan menantunya sedang tidak berada di rumah, mengumbar gosip, sehingga hati ibunda Jiang semakin panas.  

Jiang Shi dan istrinya jadi agak ketakutan kala menghadapi sang bunda, mereka lebih berhati-hati dalam meladeni ibunda, takut membuat ibunda jadi kesal dan marah. Suatu malam, ibunda Jiang bermimpi dari rumahnya berjarak sejauh enam atau tujuh li ada air sungai yang dapat menyembuhkan matanya, esok paginya dia mengutarakan hal ini kepada putra dan menantunya.

Jiang Shi percaya akan hal ini, lalu berpesan pada istrinya supaya pergi mencari air sungai tersebut, tidak boleh mengabaikannya. Sang istri tentu saja memahami hati bakti suaminya, sejak itu setiap hari dia berjalan menempuh perjalanan sejauh enam atau tujuh li untuk mengambil air di sungai buat mertua perempuannya, berharap semoga penyakit mertuanya cepat sembuh.

Saat memasuki musim gugur dan musim dingin, cuaca sangat kering, saat begini ibunda Jiang sering merasa haus, jadi teringat akan air sungai tersebut. Menantunya sejak pagi-pagi sudah harus menempuh perjalanan untuk mengambil air di sungai tersebut, namun tak terduga tiba-tiba muncul badai, daun-daun berterbangan digulung angin, daun-daun jendela berbunyi diterpa angin.

Sudah siang namun menantu masih tak kunjung pulang, Ibunda Jiang kehausan dan tidak sabar lagi, hatinya gelisah, duduk atau berbaring juga merasa tidak tenteram, emosinya jadi meledak, lalu menangis dan mengadu pada Jiang Shi : “Putraku, lihatlah istrimu itu, sedikitpun tidak menaruh perhatian pada ibu tuamu, suruh dia pergi mengambil air, tapi hingga sekarang juga tak kunjung pulang, menantu yang tidak berbakti begini, untuk apa kamu nikahi! Hari ini  bagaimanapun juga kamu harus ceraikan dia!”

Jiang Shi yang melihat ibundanya sedang dilanda amarah, dia merasa amat bersusah hati, hanya bisa menghibur ibundanya. Pada saat ini bertepatan menantunya baru sampai rumah, ibunda Jiang langsung memarahinya, memaksa agar putranya menceraikan istrinya barulah hatinya merasa lega. Meskipun di dalam hatinya merasa tidak ikhlas, namun Jiang Shi tidak berani melawan kehendak ibundanya, dalam ketidakberdayaan dia terpaksa mengusir istrinya dari rumah.

Pang Shi yang selama ini begitu penurut, namun dalam menghadapi kenyataan ini, dalam hatinya ada sedikit merasa diperlakukan tidak adil. Membalik badan melangkah keluar pintu rumah, di atas jalanan yang terasa dingin dan senyap diantara orang yang lalu lalang, perlahan bayang-bayang masa lalu mulai memenuhi alam pikirannya, perhatian dan kasih sayang yang dicurahkan sang suami dalam keseharian, kenakalan sang anak yang lucu, namun kehangatan itu bagaikan petir yang telah menghancurkan jiwa dan raganya. Kemudian rumah tangga yang penuh keharmonisan itu kini telah lenyap bagaikan awan gelap, bagaimana hatinya mampu mengikhlaskan!

Pendidikan tata krama yang diperolehnya sejak kecil, selama tahun-tahun belakangan ini dia sudah terbiasa dengan “bila bertemu masalah tanyakan kembali pada diri sendiri”,  maka itu dia kembali merenungkan hari-hari yang telah pernah dia lalui, namun dia tetap saja tidak dapat menemukan dimana letak kesalahannya yang sesungguhnya, sehingga mertuanya begitu murka setiap kali melihatnya, sehingga mertuanya begitu tidak sabar menantinya pulang mengambil air di sungai, Pang Shi yang selama ini begitu berbakti malah akhirnya merasa malu pada dirinya sendiri. Akhirnya dia memutuskan tinggal untuk sementara waktu di rumah tetangga Ibu Tua.






姜詩出婦


(一)

東漢時期,在廣漢雒縣汛鄉,就是今天四川省德陽市孝泉古鎮,那裡住著一戶人家,戶主名叫姜詩。在他還小的時候,父親便去逝了,只與母親相依為命。平日裡,姜詩格外孝順,盡心侍奉,從未讓母親懮心生過氣,鄰里鄉親看在眼裡,都對他豎起大拇指,嘖嘖稱贊不已。於是,姜詩侍母的孝名就在鄉里傳開了。

雒縣有位名士叫龐盛,有一個聰明賢惠的女兒,從小教以詩書禮儀,織布裁衣,對父母也是百般孝順。轉眼也到了該出嫁的年齡,儘管上門提親的人是絡繹不絕,卻都被一一拒之門外。不為別的,只因女兒留下一句話:「爹爹,《孝經》有云:不愛其親而愛他人者,謂之悖德。您得為女兒找個孝順父母的好夫君啊。」

一天,龐盛聽聞了姜詩的孝名,於是便派人去打聽姜詩的為人,發現姜詩名不虛傳,且為人正直。終於捋著鬍鬚,長長地舒了口氣,放下了心中的石頭。

幾經周折,姜詩和龐女結為夫婦。夫妻倆恩愛相處,過起了男耕女織的生活。過後一年,又生了一個胖小子,雖然生活苦了點,卻過得是有滋有味。夫妻倆都對母親孝順備至,龐氏尤其精心照顧,給婆婆打洗腳水,捶背揉肩,自己也樂在其中。

轉眼幾年過去了,兒子漸漸長大,姜母卻日漸衰老,不曾想又犯了眼疾。因為生活的不便,姜母脾氣暴戾起來,對媳婦就有了不滿之心,加上鄰里有人嫉妒,趁龐氏不在家的時候搬弄是非,姜母越發對龐氏沒有好聲色。姜詩夫婦誠惶誠恐,侍奉母親更加小心在意,生怕惹得母親生氣。有一天晚上,姜母夢到離家六七里的江水可以醫治自己的眼疾,便對兒子媳婦說起這件事。姜詩信以為真,叮囑妻子去江中取水,不能有絲毫怠慢。龐氏自然理解丈夫的這片孝心,從此,每天都步行六七里去江中取水回來給婆婆飲用,希望真能治好婆婆的病。

秋冬季節,天氣乾燥,這天姜母口渴,思飲江水。龐氏一大早便去江中取水,而天公偏不作美,刮起了大風,風卷秋葉漫天飛舞,窗外呼呼作響,如虎吼猿啼。龐氏遲遲未歸,姜母在家口渴難耐,內心煩悶,坐臥不安,一時怒起,便對姜詩哭訴:「兒啊,你看看你這個媳婦,也不體恤你老娘,看我口渴命將休矣,也慢慢吞吞地不回來,做這等忤逆不孝事的媳婦,你娶來做甚啊!今天你非得給我休了她!」姜詩見母發怒,心裡極其難受只得好言勸慰。就在此時龐氏正好取水回來,姜母見之便鬧將起來,非要兒子將媳婦休去纔肯罷休。姜詩心裡雖然不捨,卻不敢違了母親心意,無奈之下將妻子逐出了家門。

龐氏性格一向溫順,然而因風延誤,遭此大變,心裡自是異常委屈。隻身離開家門,在街頭孤獨徘徊,點點滴滴幸福的往事又浮上心頭,丈夫平日裡的體貼與關愛,兒子的調皮又可愛,溫情像閃電一樣擊中她的身心。然而幸福美滿的家庭剎那間化為烏有,卻如何割捨得了呢!自小的教養,多年來她已經習慣於「行有不得,反求諸己」,於是她又將一天的經過細細思量,覺得自己也有沒做好的地方,纔致使婆婆口渴難耐,一向孝順的她反而生起愧疚之心。於是,她悄悄地住在了鄰居大媽家中。


Sabtu, 29 November 2014

Guo Ju Mengubur Anaknya



Cerita Budi Pekerti

Guo Ju Mengubur Anaknya


Pada masa Dinasti Han Timur, ada seorang putra berbakti yang bernama Guo Ju, nama kehormatannya adalah Wen Ju, kampung halamannya adalah Kabupaten Lin di Provinsi Henan, kemudian oleh karena keluarganya miskin sehingga dia berkelana sampai Kabupaten Qiu di Provinsi Hebei.

Keluarga Guo terdiri dari tiga bersaudara, Guo Ju adalah abang sulung. Ayahanda mereka meninggal dunia dan mewariskan pada mereka sedikit harta benda, tetapi Guo Ju terpikir dia sudah dewasa, memiliki kemampuan untuk hidup mandiri, sementara kedua adiknya masih kecil, masih harus dijaganya, maka itu dia membagi harta warisan menjadi dua bagian kepada kedua adiknya, sementara dirinya sendiri tidak mendapat bagian sama sekali. 

Guo Ju bukan saja melepaskan harta benda yang diwariskan ayahanda, bahkan dengan segenap hati menjaga dan menghidupi ibundanya, dapat dilihat bahwa hatinya sedikitpun tidak tertarik pada kekayaan, ketenaran dan keuntungan, merupakan insan yang hidup dengan sederhana.

Hidup di dusun orang lain, suami istri bekerja dengan rajin, bekerja sebagai pembantu, dengan penghasilan yang minim untuk menghidupi ibunda, mengerahkan segenap kemampuan agar ibunda cukup sandang dan pangan. Sementara suami istri itu sendiri sangat berhemat cermat baik dalam makanan maupun pakaian, mengkonsumsi makanan yang kasar, mengenakan pakaian yang ditambal-tambal. Meskipun kehidupan mereka tidak layak, namun tawa ceria tetap memenuhi rumah mereka, sejak pagi hingga malam, dipenuhi kehangatan kasih sayang ibunda dan bakti putranya.   

Kemudian anggota keluarga mereka bertambah lagi dengan hadirnya seorang bayi laki-laki, kehidupan semakin tertekan. Guo Ju tetap menempatkan makanan terbaik buat ibundanya. Ibunda Guo Ju sangat menyayangi cucunya, selalu khawatir jika cucunya makan tidak kenyang, pertumbuhannya jadi terhambat, setiap kali Guo Ju menghidangkan makanan buat ibundanya, maka sang nenek akan menikmati makanan tersebut bersama cucunya. 

Melihat cucunya begitu lucu, sang nenek rela makan lebih sedikit, namun menyisihkan makanannya buat cucunya. Andaikata Guo Ju dan istrinya menghalanginya, maka si nenek akan beralasan tidak punya selera makan, atau giginya tidak mampu mengunyah, tidak suka makan, pasti harus melihat cucunya menghabiskan makanannya, barulah hatinya merasa puas. 

Guo Ju memperhatikan hal ini, hatinya sungguh sakit, dia jadi terpikir kehidupan mereka yang begitu susah, meskipun dia sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk memberikan apa yang terbaik buat ibundanya, sementara makanan yang dipersembahkan buat bunda juga ada batasnya, namun gara-gara bunda terlalu menyayangi cucunya sehingga rela mengurangi porsi makan sendiri, lebih ikhlas dimakan cucunya, sehingga niat baktinya tidak tercapai. 

Demi agar ibundanya dapat menikmati hidangan dengan tenang, setiap kali sebelum menyajikan hidangan buat ibunda, Guo Ju akan membiarkan anaknya main-main di luar, dengan demikian barulah si nenek takkan membagi makanannya dengan si cucu. 

Tidak jauh dari rumah Guo Ju terdapat sebuah kolam kecil. Suatu hari, anak Guo Ju sedang main-main di luar, karena tidak hati-hati terjatuh ke dalam kolam dan mati tenggelam, setelah mereka menemukannya, anak itu telah menutup mata buat selama-lamanya, mukanya pucat dan tidak bernafas lagi. Istri Guo Ju memeluk anaknya yang sudah terbaring kaku, hatinya begitu sakit dan menangis pilu. 

Pepatah berkata, darah daging akan terjalin hatinya, melihat anaknya yang telah meninggal dunia, Guo Ju sangat bersedih hati. Kemudian Guo Ju saat ini yang paling ditakutkannya adalah ibundanya pasti akan merasa sangat terpukul dengan kematian cucunya, dia tahu ibundanya sangat menyayangi cucunya ini, andaikata dalam sekejab memberitahukan bahwa cucunya mati tenggelam, ditakutkan sang nenek tidak mampu menerima pukulan ini, bisa terlampau sedih sehingga merusak kesehatannya. 

Guo Ju menahan kesedihannya, berkata pada istrinya : “Anak masih bisa dilahirkan, namun ibunda hanya satu saja, begitu kita kehilangan ibunda, maka selamanya tidak mungkin ada duanya lagi, maka itu jangan sampai membuat ibunda merasa terpukul”. Guo Ju meminta istrinya untuk menahan diri tidak menangis, agar jangan sampai isak tangisnya terdengar ibunda, cepat-cepat menggali lubang untuk mengubur anaknya.

Setelah istri Guo Ju mendengarnya, meskipun dia sangat mencintai anaknya, tidak sanggup mengikhlaskan kepergiannya, namun juga mengeraskan hati pergi membantu suaminya menggali kuburan buat anaknya. Selanjutnya, sepasang suami istri dengan menahan linangan air mata, mulai menggali lubang. Ketika istrinya menggali hingga kedalaman tiga kaki, tiba-tiba muncul bunyi gemuruh, petir menggelegar di angkasa, suara petir yang sempat mengkagetkan orang, ternyata menghidupkan kembali anak kecil yang telah meninggal dunia tersebut.

Setelah anak itu siuman, bersamaan itu pula suami istri menemukan di tepi lubang galian muncul sebuah ceret yang penuh dengan emas, di atasnya ditutupi dengan sehelai kain sutra, di atas kain sutra tertulis : “Putra berbakti Guo Ju, Langit menganugerahkan emas untukmu, baik pejabat maupun penduduk lainnya tidak boleh mengambilnya darimu”. Dapat dilihat bahwa hati dan sikap bakti Guo Ju telah menggugah Langit, Langit membiarkan anaknya hidup kembali, bahkan menganugerahkan satu ceret yang berisi emas untuknya, supaya dia terlepas dari kemiskinan, dapat lebih baik lagi dalam menghidupi ibundanya.

Setelah petir berlalu, Keluarga Guo akhirnya dapat mengubah kesedihan menjadi tawa ria, Guo Ju dapat lebih baik lagi menjaga ibundanya, ibundanya juga dapat menyayangi cucunya, mereka sekeluarga dapat melewati sisa hidup dalam kegembiraan. Dapat dilihat bakti Guo Ju telah menggugah Langit, sehingga dia dapat mengubah petaka menjadi keberuntungan. Hati bakti yang tulus benar-benar dapat mengubah nasib, dapat mengubah keadaan keluarga kita.

Bakti muncul dari sifat alami manusia, merupakan Hukum Alam. Ketika anak kita melihat kita berbakti pada ayahbunda, akan merasakan sukacita yang tulus, membangkitkan semangat untuk meneladaninya. Lagi pula anak yang tahu berbakti pada ayahbundanya, masa depan kehidupan manusia barulah dapat dijalani dengan lancar dan tenteram. 

“Berbakti merupakan landasan dari segala kebajikan, dimana semua ajaran bersumber dan berdiri pada landasan ini”, ajaran bakti melampaui segala ruang dan waktu, melampaui batas negara, warisan turun temurun selama beribu-ribu tahun, merupakan inti dari pendidikan budaya Tionghoa, dimana landasan dari pendidikan moral berada. Kisah “Guo Ju Mengubur Anak” tidak hanya baktinya yang mengharukan insani, juga mengembangkan kebijaksanaan kita dalam mendidik anak. 






郭巨埋兒



東漢時期,有一位孝子姓郭名巨,字文舉,原籍河南省林縣,後來因為家貧,流落到河北省內邱縣。

郭家有兄弟三人,郭巨是長子,還有兩個弟弟。父親過世的時候留下了一些財產,但是郭巨想到自己已經成年,有獨立生活的能力,而弟弟們還年幼,能力較弱需要照顧,於是就把錢財全部分給兩個弟弟,自己分文不取。郭巨不但放棄了父親留下來的錢財,而且一心一意地贍養母親,可見他的心一點都不貪求富貴名利,是個非常淡泊的人。

在異地他鄉,夫妻二人勤勤懇懇,以幫傭為生,賺取微薄的收入來奉養母親,盡力使母親吃得好,穿得暖。而夫婦倆卻節衣縮食,極其節儉,吃的是最粗陋的食物,穿的是補丁摞補丁的衣服。生活條件雖差,但在菽水承歡的郭家,卻是歡聲笑語不斷,從早到晚,洋溢著母慈子孝的溫馨。

後來,家裡添了個小孫子,生活更加拮据。郭巨依然把所有好吃的東西,統統留給母親享用。郭巨的母親非常疼愛小孫子,總怕他吃不飽,長不大,每一次郭巨奉養母親的食物,老人都會把孫兒叫過來一起分享。看到孫兒那麼可愛,老人寧可自己少吃一些,也要把最好的留給孩子。如果郭巨和妻子阻攔,老人就推說沒有胃口,或者是牙齒咬不動,不愛吃,一定要看著孫兒香香甜甜地吃下去,纔心滿意足。

郭巨看在眼裡,疼在心底,他想到生活這麼拮据,盡最大努力都不能很好地奉養母親,給母親的食物也很有限,卻因為母親這麼喜歡自己的兒子,寧願減少每餐的飯量,也要留給孫子吃,而沒有辦法達到盡孝的心意。為了讓母親安心用餐,每一次給母親呈上食物之前,郭巨一定先讓兒子到外面玩耍,這樣纔不會跟奶奶分食。

離郭巨家不遠,有個小水塘。有一天,郭巨的兒子在外面玩耍,不小心跌到池塘裡溺水死了,等到他們發現的時候,兒子已雙眼緊閉,臉色蒼白,沒有了呼吸。妻子抱著失去知覺的孩子,既心痛,又著急,非常的惶恐,竟號啕大哭起來。

俗話說,骨肉連心,看著死去的兒子,郭巨非常難過。然而郭巨此刻唯恐驚動母親,他知道母親非常疼愛這個孩子,如果一下子知道孫子落水而死的噩耗,恐怕沒有辦法承受這樣大的打擊,會傷心過度而損害身體。

郭巨強忍悲痛,對妻子說:兒子可以再生,母親只有一個,一旦失去了母親,永遠不能復得,所以千萬不要驚動母親。郭巨讓妻子忍住哭泣,不要被母親聽到,趕緊挖坑把小孩給埋葬了。

郭巨的妻子聽後,雖然愛子情深,依依不捨,也只好趕緊去做這件事情。於是,夫妻倆含著眼淚,開始挖坑。當妻子挖到三尺深的時候,突然「轟隆」一陣巨響,半空中打了一聲驚雷,雷聲非常驚人,竟然震醒了昏死的兒子。兒子甦醒過來,同時夫妻倆也看到土坑旁邊多了一釜黃金,上面還蓋著一塊絹布,絹布上寫道:「孝子郭巨,天賜黃金,官不得奪,民不得取。」可見,這是郭巨的孝心孝行感召了天地,上天讓他的兒子復活,並且賜給他一釜黃金,讓他脫離貧窮,能夠更好地奉養母親。

疾雷過後,郭家終於破涕為笑,郭鉅能更好地照料母親,母親也可以含飴弄孫,頤養天年,一家人終於得到往昔的歡樂。可見郭巨的孝心感動天地,使得他轉禍為福,轉凶為吉。至誠的孝心真的可以改造一切的命運,可以改造我們的家庭。

孝出自人類自然的本性,是順乎天道的自然法則。當我們的孩子看到我們孝順長輩,會感到由衷的喜悅,生起學習向往之情。而懂得如何孝順父母的孩子,未來的人生道路纔能走得從容、踏實。

「夫孝,德之本也,教之所由生也。」孝道超越時空,跨越國度,承傳數千年,是中華文化的核心,是德行教育的根基所在。「郭巨埋兒」的故事,不僅孝行感人,也啟發我們學習他教子的智慧。

Cao E Melompat Ke Dalam Sungai



Cerita Budi Pekerti

Cao E Melompat Ke Dalam Sungai


Di Kabupaten Shangyu Provinsi Zhejiang, ada sebuah sungai yang disebut “Sungai Cao E”, sungai ini adalah untuk mengenang seorang putri berbakti yang bernama Cao E. 

Cao E hidup pada masa Dinasti Han Timur (25-220M), ayahnya bernama Cao Xu, seringkali melakukan pekerjaan mendayung perahu ke tengah sungai lalu menyanyikan sejumlah lagu untuk menyambut dewa.

Pada tahun 143 masehi, bertepatan dengan Cao E berusia 14 tahun. Suatu hari, Cao Xu sedang mendayung sebuah perahu kecil, dari Sungai Shun melawan arus pergi menyambut Dewa Pasang Surut. Tetapi tak terduga ternyata tiba-tiba muncul angin dan ombak yang tinggi, perahu kecil terbalik dipukul ombak, bagaikan sehelai daun yang berguguran, sejenak kemudian hilang ditelan air sungai, Cao Xu juga ikut jatuh ke dalam sungai. 

Oleh karena ombak yang terlalu besar, orang-orang yang berada di daratan melihat perubahan alam yang demikian mendadak ini, sesaat tidak tahu harus berbuat apa, tidak berdaya dalam waktu sekejab langsung memberi pertolongan, hanya bisa menghela nafas panjang lalu beranjak pergi.

Berita kematian segera tersebar sampai di Keluarga Cao, Cao E yang mendengar ayahnya tenggelam di dalam sungai, menangis pilu sambil berlarian ke tepi sungai. Sambil menangis pilu dan hatinya hancur berkeping-keping, sambil berteriak memanggil ayahnya, sambil berjalan sendirian menelusuri pinggiran sungai mencari ayahnya.

Demikianlah sehari, dua hari, tiga hari telah berlalu, Cao E berada di tepi sungai, siang malam tanpa henti mencari ayahnya, memanggil ayahnya, suara tangisannya telah tersebar hingga ke seluruh pelosok sungai. Tetapi sudah tiga hari berturut-turut, juga tidak ada kabarnya, apakah ayahnya sudah mati atau belum. 

Cao E terus menerus menangis hingga airmatanya sudah hampir mengering, tidak makan juga tidak tidur, setiap hari tak peduli siang dan malam dia berjaga di pinggir sungai, sambil menangis sambil mencari, semua orang yang melihatnya jadi ikut bersedih hati, setiap saat mereka datang menasehatinya agar menjaga kesehatannya baik-baik, Cao E berkata : “Terkecuali saya sudah berhasil mencari ayahanda, jika tidak, maka saya takkan menyerah”.

Setelah belasan hari berada di pinggiran sungai mencari dan terus mencari, siang dan malam tanpa henti, Cao E menyadari bahwa bila usahanya ini diteruskan, juga tidak mungkin bisa berhasil mencari ayahnya, maka itu dia melempar bajunya ke dalam sungai, kemudian berlutut di atas tepi sungai, menatap ke arah air sungai lalu berkata : “Ayah, andaikata anda mendengarkan diriku, merestui hati bakti ananda, maka biarkanlah baju ini tenggelam dimana tempat anda berada!” 

Sungguh mengherankan, baju yang dia lemparkan mengikuti arus sungai, setelah mengalir satu kurun waktu, di sebuah tempat berputar beberapa kali, lalu tenggelam ke dalam sungai. Cao E segera mengikuti arah dimana bajunya tenggelam, lalu dia juga ikut melompat ke dalam sungai.

Lima hari kemudian, permukaan sungai kembali tenang, ada orang yang terkejut melihat ada dua mayat yang mengapung di permukaan sungai, begitu melihatnya dari dekat, ternyata adalah Cao E yang sedang menggendong ayahnya. Meskipun ayah dan anak sudah tidak bernafas lagi, sekujur tubuh juga sudah dingin, tetapi Cao E masih menggendong dengan erat ayahandanya. 

Semua orang yang hadir saat itu melinangkan air mata, mereka mengatakan ini semua adalah berkat hati bakti Cao E yang telah menggugah Dewa Sungai sehingga dia berhasil menemukan jasad ayahnya, bahkan mengantar jasad ayah dan anak ke permukaan sungai. 

Setelah pejabat kabupaten setempat mengetahui hal ini, juga tergugah oleh hati bakti Cao E, memerintahkan agar jasad ayah dan anak ini dimakamkan dengan baik, lalu mendirikan sebuah batu prasasti, untuk mencatat kisah putri berbakti Cao E, agar semua orang bisa ikut memuja dan mengenangnya. 

Kemudian, masyarakat demi mengenang Cao E, di tempat dia melompat ke dalam sungai didirikan “Kuil Cao E”, dusun yang dihuni Cao E diberi nama “Dusun Cao E”, Sungai Shun juga diubah namanya menjadi “Sungai Cao E”. Menurut legenda hari dimana Cao E melompat ke dalam sungai demi menyelamatkan ayahnya bertepatan dengan lunar bulan ke-5 hari-5, maka itu, Festival Perahu Naga selalu dikaitkan dengan peringatan pada Cao E.

Kini, setiap tiba hari perayaan Festival Perahu Naga, semua orang akan merayakannya dengan cara yang berbeda, kemudian ketika kita tenggelam dalam suasana kegembiraan, apakah kita akan teringat pada kisah yang mengharukan ini dan juga menyadari akan makna yang terkandung di dalamnya? 

Berbakti pada ayahbunda adalah kebajikan yang indah dalam budaya Tionghoa yang diwariskan turun temurun, yang juga merupakan dasar menjadi manusia yang seutuhnya. Diri kita dan ayahbunda sesungguhnya adalah satu, ayahbunda adalah akar kehidupan kita. Andaikata kita melupakan ajaran bakti, tidak tahu budi dan balas budi, rumah tangga kita, karir dan masa depan kehidupan manusia, akan serupa dengan air yang tanpa sumbernya, mana mungkin dapat rimbun dan berbuah? Semoga putra putri di dunia ini janganlah melupakan dasar untuk menjadi manusia yang seutuhnya, segera mewujudkan bakti, sehingga seawal mungkin pepohonan rumah tangga kita, karir dan masa depan kehidupan manusia, akar pohonnya tertanam dengan mendalam dan kokoh, bertahan buat selama-lamanya.   





曹娥投江



在浙江上虞,有一條江叫「曹娥江」,這條江是為了紀念孝女曹娥而得名。

曹娥,東漢人,父親曹盱是一位術士,經常親自劃船到江中做一些唱歌迎神的工作。

漢安二年,也就是公元143年,這一年曹娥正好十四歲。一天,曹盱劃著一隻小船,從舜江逆流而上去迎接潮神。沒想到天有不測風雲,江面上突然起了風浪,小船被一個大浪打翻,就像一片落葉一樣,旋即被江水吞沒,曹盱也就隨之跌入江水之中。

由於江面風浪太大,岸上的人們面對這場突如其來的變故,一時不知所措,無法及時打撈相救,只好嘆息著離去。噩耗傳到曹家,曹娥聽到父親落江的消息,哭著奔跑到江邊,一邊悲痛欲絕地喊著父親,一邊沿江不停地尋找著父親。

就這樣,一天,兩天,三天過去了,曹娥在江邊日夜不停地尋找著,呼喚著,哭聲幾乎傳遍了整條大江。可是連續三日下來,也沒有找到,父親依然是生死未卜。曹娥哭乾了眼淚,不吃飯也不睡覺,每天日夜守在岸邊苦苦尋找,人們都非常同情她,紛紛來勸她要保重身體,曹娥告訴大家說:除非找到父親,否則絕不放棄。

在江邊連續尋找守候了十幾個晝夜後,曹娥知道這樣下去是不可能找到父親的,於是,她就將自己的衣裳拋到江水之中,然後雙膝跪在岸邊,對著江水說:「父親,如果您在天有靈,就成全女兒的孝心,讓這衣裳在您所在的位置沈下去吧!」說也奇怪,她拋出的衣裳隨著江水漂流了一段距離後,在一個地方打了幾個轉兒,就沈了下去。曹娥見狀趕緊循著衣裳沈下去的地方,縱身跳了下去。

五天後,江面變得異常平靜,有人隱隱約約看見下游的江面浮著兩具屍體,近前一看,原來是曹娥背著她的父親。雖然父女倆都沒有了氣息,身體已經冰涼了,但是,曹娥還是緊緊背著父親,一點也沒有放鬆。在場的人們見此都流下了眼淚,都說是曹娥至誠的孝心感動了江神,纔讓她在水下找回父親的屍首,並把他們送上水面。當地的縣官得知後,也被曹娥的孝心和壯舉深深感動,下令把他們父女好好埋葬,並且立了一塊碑,將孝女曹娥的事跡記錄下來,供人們瞻仰、懷念。

後來,人們為了紀念曹娥,就在她投江的地方建起了「曹娥廟」,曹娥所居住的村子也改名為「曹娥村」,那條舜江也就改稱為「曹娥江」。傳說曹娥投江救父那天是五月初五,所以,當地端午節的一系列紀念活動,自然也就與曹娥有關了。

如今每到端午節,人們都會以各種方式來慶祝節日,然而,當我們沈浸在節日喜悅的氣氛中時,是否還會記得這個淒婉感人的故事,並領悟到其中的真情真義呢?

孝敬父母是中華傳統美德,也是做人立身之本。我們與父母本為一體,父母是我們生命的根本。倘若忘失了孝道,不懂得知恩報恩,我們的家庭、事業與人生未來,就會如同無源之水和無本之木,又怎會枝繁葉茂,碩果纍纍呢?祈願天下兒女勿忘立身的根本,及時行孝,早日使我們的家庭、事業與人生未來之樹,根深蒂固,萬古長青。

Kaisar Wen Mencicipi Air Rebusan Obat



Cerita Budi Pekerti


Kaisar Han Wen-di yang memerintah dari 180-157 SM, merupakan kaisar yang tersohor sepanjang sejarah karena sikap baktinya, kisahnya yang terlebih dulu mencicipi air rebusan obat buat ibundanya, tersebar luas hingga sekarang. Ibunda Kaisar Wen bernama Bo Ji, meskipun bukanlah seorang ratu, namun karakternya sangat baik, memperoleh pujian dari para pejabat tinggi istana.

Pada permulaan masa Dinasti Han, pengawal penjaga wilayah perbatasan mengadakan pemberontakan. Pendiri Dinasti Han, Kaisar Liu Bang, mengerahkan pasukan untuk meredakan pemberontakan, oleh karena posisi pengawal penjaga wilayah perbatasan memegang peranan yang sangat penting, maka itu untuk menggantikan posisi ini haruslah memilih orang yang dapat dipercaya dan berbakat, barulah dapat melindungi keselamatan negara.

Dibawah rekomendasi para pejabat negara, Liu Heng (dikemudian hari menjadi kaisar dengan gelar Han Wen-di) yang bijak dan berbakti, terpilih menjadi wakil kaisar di wilayah perbatasan. Wilayah perbatasan yang liar, jauh dari ibukota, kualitas hidup yang rendah menyebabkan orang-orang sulit beradaptasi di sana. Namun Liu Heng memang merupakan insan yang bijak, dari ajaran ibundanya, juga mematuhi nasehat leluhurnya, sehingga daerah pinggiran ditatanya menjadi rapi, akhirnya wilayah perbatasan menjadi tenteram kembali.

Tidak lama kemudian, sanak saudara Permaisuri Lǚ melakukan pemberontakan, lalu berhasil ditaklukkan oleh pejabat setia. Dibawah dukungan perdana menteri, Liu Heng dinobatkan jadi kaisar dengan gelar Han Wen-di, yang memerintah dengan kebajikan dan sikap bakti.

Dalam keseharian kaisar akan memberi teladan dalam bentuk tindakan nyata. Setiap hari dia akan pergi menghadap ibundanya untuk menanyakan kabar, andaikata tugasnya tidak terlalu sibuk, maka Kaisar Wen akan meluangkan waktu untuk menemani ibunda. Di dalam hati Kaisar Wen, senantiasa menganggap berbakti pada ayahbunda merupakan urusan terbesar sepanjang hidupnya. Asalkan ibundanya merasa tenteram baik lahir dan batin, maka Kaisar Wen akan merasa sangat berbahagia.

Waktu berlalu dengan cepat, ibunda mulai menua dan lemah. Kaisar Wen begitu mengkhawatirkan kondisi ibundanya. Suatu hari, ibunda jatuh sakit, Kaisar Wen segera mengundang tabib terbaik untuk menyembuhkan penyakit sang ratu, semua tabib mengerahkan kemampuan terbaik untuk sesegera mungkin menyembuhkan penyakit ratu.

Dalam situasi kritis ini, Kaisar Wen sangat cemas, beliau takut andaikata ibundanya sakit hingga tidak bisa bangkit lagi dari tempat tidur, bahkan meninggalkan dirinya buat selama-lamanya. Dia selalu mengkhawatirkan kondisi ibundanya dan tidak tenang bila sang bunda hanya dijaga dayang istana. Setiap selesai mengerjakan tugas kenegaraannya, maka kaisar akan segera pergi merawat ibunda, menjaga disamping tempat tidur ibunda. Melihat kondisi ibunda yang melemah, Kaisar Wen jadi tak berselera makan, malam juga tidak bisa tidur nyenyak, kaisar sendiri yang membawakan air dan obat buat ibunda, segenap hati berharap agar bundanya cepat pulih. Asalkan ibunda merasa sedikit enak badan, maka Kaisar Wen akan merasa amat bersukacita.

Selama tiga tahun kaisar merawat ibunda, sebagai seorang pemimpin negara yang sibuk menangani urusan kenegaraan, Kaisar Wen tidak pernah tidur dengan nyenyak. Meskipun sedang beristirahat, Kaisar Wen juga tidak melepaskan jubahnya, khawatir bila sewaktu-waktu ibunda memanggilnya, dia tidak menginginkan oleh karena kelalaian dirinya sehingga kepentingan ibunda jadi terabaikan. Agar dapat menjaga ibunda dengan lebih baik lagi, Kaisar Wen sengaja mempelajari manfaat dari air rebusan obat-obatan, takarannya dan mengingatnya di dalam hati, kapan obat harus diberikan, bagaimana cara merebusnya, bagaimana cara mengembangkan keefektifan obat, dia juga dapat menguasainya dengan tepat.

Setiap kali sebelum ibunda minum air rebusan obat, maka terlebih dulu Kaisar Wen akan mencicipinya dulu, mempertimbangkan apakah kekentalannya sudah sesuai atau tidak, apakah hangatnya sudah sesuai atau tidak, jika tidak sesuai maka kaisar akan berpesan untuk mengulangi proses perebusan obat hingga sesuai untuk diminum ibunda, barulah kaisar merasa tenang untuk menyajikannya buat ibunda. Sang bunda dibawah perawatan putranya selama tiga tahun akhirnya kondisi kesehatannya mengalami kemajuan.

Bakti Kaisar Wen pada ibunda, bersamaan itu pula sebagai seorang kaisar, juga telah menganggap rakyatnya sebagai sanak keluarganya. Bahkan menganugerahkan penghargaan bagi penduduk yang telah memberikan teladan yang baik, untuk memotivasi terwujudnya kebiasaan masyarakat yang baik. Dia menghapus hukuman mati akibat fitnahan, saat panen berkurang kaisar akan mengurangi beban pajak dan sewa, menjadi pelipur lara bagi yatim piatu di seluruh pelosok negeri.

Bertahta selama 23 tahun, tak peduli itu adalah ruangan istana, taman, atau kereta kuda dan fasilitas kekaisaran lainnya, Kaisar Wen tidak pernah menambahkannya sama sekali. Beliau mulia, welas asih, hormat dan berhemat, menunaikan kewajibannya, menjunjung kehidupan sederhana memberi teladan bagi dunia, dengan sendirinya dihormati dan dicintai rakyatnya, menjauhi segala kesenangan, sebuah hal yang menakjubkan bagi terwujudnya perdamaian dunia.

Pepatah berkata pasien yang sudah terbaring kelamaan takkan ada anak berbakti di sampingnya. Namun Kaisar Wen dapat merawat ibundanya hingga tiga tahun lamanya, yang merupakan hal yang sulit diwujudkan oleh setiap insan. Namun bagi seorang kaisar yang dalam kesehariannya disibukkan oleh urusan negara, malah dapat merawat ibunda selama tiga tahun, alasannya adalah terletak pada sebutir hati bakti yang tulus.

Sebaliknya kondisi masyarakat masa kini, banyak yang sebagai putra putri, setiap harinya hanya menyibukkan diri demi mengejar ketenaran dan keuntungan, jarang sekali memikirkan keluarganya terutama mengkhawatirkan ayahbunda sendiri, apalagi merawat ayahbunda lebih tidak memungkinkan lagi, saat ini juga, marilah kita menenangkan diri sejenak untuk merenungkan kembali, setiap hari kita menyibukkan diri, sesungguhnya berapa banyak kegembiraan yang dapat kita bawa untuk ayahbunda yang telah melahirkan dan membesarkan diri kita? Berapa banyak perhatian dan kenyamanan yang telah kita berikan pada mereka?

“Berbakti merupakan landasan dari kebajikan, dimana semua ajaran bersumber dan berdiri pada landasan ini”. Kehidupan yang tanpa ajaran bakti adalah serupa dengan mencabut akar memutuskan sumbernya, melewati masa tua yang menyedihkan dan memprihatinkan. Berbakti pada ayahbunda adalah dasar menjadi manusia seutuhnya, yang juga merupakan landasan dari “dengan mengenang ayahbunda dan leluhur, moralitas penduduk akan kembali menjadi tebal”. Kaisar Wen menggunakan sebutir hati berbaktinya, tindakan baktinya yang mewakili ibundanya mencicipi air rebusan obat terlebih dulu, telah memberi teladan bagi masyarakat dunia dalam berbakti dan membalas budi ayahbunda.             




漢文嘗藥

漢文帝劉恆是歷史上有名的仁孝皇帝,他侍母嘗藥的故事,在後世廣為流傳。

文帝的母親薄姬,雖不是正宮皇后,但她秉性仁善,深得朝中大臣稱道。

漢朝初期,鎮守代地的相國陳豨起兵造反。高祖劉邦出兵平定叛亂,由於代地位處邊疆,是重要的邊防要塞,必須由可靠又有才乾的人鎮守,纔可保家國的安全。在眾臣的舉薦下,賢孝穩重的劉恆被封為代王,鎮守邊防。蠻荒偏遠的代地,遠離京畿,惡劣的環境使人難以適應。但是,代王劉恆不愧是賢明之人,聽從母親的教誨,恪守力行祖訓,把代地治理得井井有條,使邊疆恢復了安定。

不久,呂后宗親謀反,後被忠臣平定。劉恆遂在丞相、太尉擁立下,登上了帝位。當了一國之君的漢文帝,堅持以仁孝治理天下。平日,他身體力行,每天都向母親問安,如果公務不很繁忙,文帝還要特別抽出時間,陪伴在母親左右。在文帝心中,始終把侍母盡孝當作是自己生命中的大事。只要母親身心安泰,自己也會感到莫大的快樂。

日月如梭,母親開始日漸衰老、孱弱。文帝不免擔懮起母親的身體。一天,母親不幸病倒了,文帝請來最好的醫生給太后診治,宮廷內外也都為儘早醫好太后的病而各盡所能。

此時此刻,文帝焦急萬分,他深恐母親一病不起,甚至會離自己而去。他時刻牽掛著母親,已經放心不下宮女們的照顧。只要完成公務,文帝便會徑直來到母親寢宮,守護在母親床前。看到母親憔悴的面容,文帝食不甘味,夜不能眠,他親自為母親端水送藥,一心想著讓母親儘快好起來。只要母親感覺好了一些,文帝心中就感到無限的喜悅。

在侍奉母親的三年裡,身為一國之君的漢文帝,幾乎沒有睡過一個安穩覺。即使在休息時,文帝也從不寬衣解帶,生怕在母親呼喚時,由於自己一時的怠慢而無法應母親之需。為了更好地照顧母親,文帝還學習所用湯藥的藥效、劑量,而且牢記於心,對什麼時候用藥,如何熬制纔能充分發揮藥效等等,他都能恰當地掌握。母親每次服藥前,文帝必會親自先嘗,品一品熬煮的濃度是否適當,溫度是否合適,然後再囑咐進行調製調溫,直到適宜母親服用之後,纔放心地端給母親。母親在皇子三年如一日的侍奉護理下,終於有了好轉。

文帝對母至孝,身為皇帝,也把百姓當作親人。他倡導:「孝悌,天下之大順也。力田,為生之本也。三老,眾民之師也。廉吏民之表也。」並嘉獎這些世人模範,以帶動良善的社會風氣。他還廣納諫言,廢除因誹謗而處以死刑的懲罰,在收成差的年份減租減稅,惠賜天下孤寡。在位二十三年,不管是宮室、苑囿,還是車騎、服御,文帝從來都沒有增添過。他仁慈恭儉,以敦倫儘分,崇尚簡樸示範天下,自然得到萬民愛敬、海內殷富、遠者悅服、天下大治的盛景。

人們常說,久病床前無孝子。對病人三年無微不至地照顧,對一個人來講,確實是一件不容易做到的事。可是,一位日理萬機的君王,卻能夠真正做到三年如一日地悉心侍奉,追其根源,這都是由於他有一顆真摯的孝敬之心。反觀現代社會,很多為人子女的,終日忙於名利事務,卻很少念及家中還有時刻牽掛自己的父母,更談不上親力親為侍奉雙親了。此時此刻,我們不妨靜下心來,認真地反思一下,終日忙忙碌碌,究竟給養育我們的父母帶來多少歡樂,多少精神的慰籍?

「夫孝,德之本也,教之所由生也」。沒有孝道的人生,是拔根斷源晚景淒涼的人生;沒有孝道的民族,是沒有生命力的民族。孝親是做人的基礎,是民族慎終追遠,民德歸厚的基石。漢文帝以一顆拳拳孝子之心,以侍親嘗藥的孝行,為天下百姓做出了侍母報恩的榜樣。